Senin, 08 Juni 2009

Strategy Microsoft sukses di Indonesia

Dengan organisasi pemasaran yang dibuat menyerupai rangkaian roda gigi, Microsoft Indonesia dua tahun berturut-turut meraih penghargaan Best Performance dari Microsoft Corp. Seperti apa organisasi pemasarannya?
Pemandangan berbeda tampak di kantor PT Microsoft Indonesia (MI). Kini, tepat di hadapan pintu masuk kantor yang berlokasi di Gedung Bursa Efek Indonesia Tower 2 Lantai 18 itu, terpampang replika sebuah piala yang ukurannya cukup besar. Piala itu tak lain adalah Circle of Excellence Award yang diperoleh MI dari Microsoft Corp. MI dinobatkan sebagai Best Performance untuk kantor perwakilan Microsoft Corp. di kategori negara berkembang.

Prestasi itu diraih MI dua tahun berturut-turut, 2007 dan 2008. “Keberadaan Microsoft Indonesia kian dipandang oleh kantor pusat,” ujar Adrian Anwan, Manajer Server & Tools Marketing MI. “Salah satu buktinya, tahun lalu Bill Gates mau berkunjung ke Indonesia,” tambahnya.

Walau hanya menjadi saksi bisu, piala tersebut menggambarkan performa MI dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, penjualannya mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. “Kami selalu tumbuh double digit,” ujar Adrian tanpa bersedia merinci lebih lanjut.

Adrian mengatakan, tanpa mengecilkan peran divisi lainnya, divisi pemasaran atau di MI dikenal dengan sebutan Business Marketing Organization (BMO) memberi kontribusi yang sangat besar atas pencapaian tersebut. “Ini tak lepas dari solidnya organisasi pemasaran di MI, sehingga bisa menghasilkan strategi yang sangat tepat dalam menjangkau pasar,” ia menjelaskan.

Awalnya adalah posisi MI yang unik di tengah pasar. Disebutkan Adrian, MI bergelut di bisnis teknologi informasi (TI) yang menjangkau segmen sangat luas, mulai dari pengguna awam (non-TI) sampai ke teknologi-teknologi yang digunakan oleh korporasi besar. Guna menyentuh seluruh segmen secara optimal, maka organisasi di MI juga dibagi sesuai dengan segmentasi pasar yang ada di Indonesia. “Tujuannya agar bisa melayani setiap segmen dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.

Intinya, organisasi ini terdiri dari dua golongan besar, yaitu business group dan spesialist group, yang di dalamnya terdapat beberapa jabatan yang sejajar. Setiap jabatan yang ada pada struktur organisasi itu memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan lainnya. Jadi, ibarat rangkaian roda gigi. Jika satu bergerak, yang lain pun ikut bergerak.

MI memiliki manajer produk untuk produk server, client (desktop), information worker (peranti lunak untuk profesional TI dan non-TI) dan Windows Mobile. Posisi manajer produk masuk ke dalam kelompok business group yang bertanggung jawab menangani sekitar 150 item produk yang dimiliki MI. Setiap manajer produk memiliki tanggung jawab sama, yaitu membuat forecast, bujet pemasaran, hingga strategi eksekusi.

Dalam menjalankan tugasnya, para manajer produk ini dibantu oleh para spesialis yang dalam struktur organisasi ditempatkan sejajar dengannya. Adrian menerangkan, spesialis bertugas membantu manajer produk menentukan strategi yang hendak dijalankan untuk menggarap setiap segmen pasar yang ada.

Di antara jajaran spesialis, ada jabatan yang disebut customer partner employee experience (CPEE). Menurut Adrian, ini merupakan komitmen MI untuk kepuasan pelanggan, mitra dan karyawan. Data yang diberikan CPEE sangat berguna bagi manajer produk dan spesialis lain untuk mengetahui apakah strategi, produk dan solusi yang ditawarkan MI sudah sesuai dengan kebutuhan konsumen atau tidak.

Untuk mendapatkan data tersebut, setidaknya dalam satu tahun MI melakukan dua kali survei untuk mengukur tingkat kepuasan di tiga lapisan tersebut (pelanggan, mitra dan karyawan). “Dari survei ini, secara tidak langsung kami juga bisa mengetahui demand pasar,” ujar Adrian.

Selain itu, ada jabatan yang disebut platform strategy manager (FSM). Adrian mengatakan, MI bukanlah satu-satunya perusahaan yang bergerak di bidang peranti lunak di Indonesia. Karena itu, sangat mungkin perusahaan yang sudah menjadi pelanggan MI juga menggunakan peranti lunak dari perusahaan lain. Maka, MI memiliki FSM yang fungsinya meyakinkan bahwa teknologi Microsoft dan bukan Microsoft bisa bersama-sama memberi kontribusi terbaik bagi bisnis konsumennya. “Kami tidak bisa memaksa semuanya harus Microsoft, karena itu ada jabatan FSM untuk mengisi pasar yang sudah dimasuki oleh pemain lain.”

Seluruh aktivitas yang dijalankan oleh tim pemasaran MI pada akhirnya dipusatkan pada jabatan yang disebut central marketing group (CMG). CMG inilah yang meramu komunikasi atau solusi seperti apa yang digunakan untuk produk yang akan ditawarkan pada konsumen.

Menurut Triari Senawirawan, Marketing Communication Group Head MI – penanggung jawab CMG – setiap produk Microsoft punya karakteristik dan target pasar yang berbeda-beda. Produk itu harus dikomunikasikan dengan bahasa yang sesuai dengan target pasarnya. Sebagai contoh, Triari menyebutkan, untuk produk server, bahasa yang digunakan adalah bahasa enterprise (hi-level), dan bahasa itu tentunya tidak akan cocok untuk produk yang ditujukan bagi orang awam (non-TI). “Tanggung jawab saya memastikan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa target pasar dari produk tersebut,” ujar Triari.

Namun, sebelum mengambil keputusan CMG juga bekerja sama dengan segmen (divisi) yang bersangkutan karena mereka yang lebih dekat dengan konsumen, serta mempertimbangkan insight dari CPEE. “Akan sangat mudah sekali kami terlena untuk membawa jargon-jargon yang sebenarnya tidak dimengerti oleh konsumen,” tutur pria yang sebelumnya berkarier di Ogilvy & Mather Indonesia ini.

Triari mengutarakan, sejujurnya MI belum terlalu terbiasa dalam menggarap pasar ritel (konsumer). Pasalnya, sejak hadir di Indonesia 10 tahun lalu, baru tiga tahun terakhir MI menggarap pasar ritel. Tak heran, hingga saat ini kontribusi pendapatan dari enterprise masih mencapai 60% lebih. “Marketing yang terbiasa kami lakukan adalah relationship marketing,” ujarnya.

Selain menentukan bahasa, CMG juga bertanggung jawab menentukan jenis komunikasi dan penempatannya. “Ada komunikasi yang kami rasa cocok lewat iklan, ada yang lebih baik dengan BTL, dan ada juga yang lebih pas dengan event,” paparnya seraya menjelaskan, MI memiliki pula beberapa jenis event yang disesuaikan dengan objektif yang ingin dicapai, seperti one to many event, one to view event atau one on one event.

Adapun yang sangat membedakan antara B2B dan B2C, menurut Triari, adalah purchasing behaviour. Untuk produk B2C, keputusan membeli mutlak ada di konsumen itu sendiri, sedangkan untuk B2B akan sangat berbeda. Pada saat memutuskan untuk membeli, harus mendapat persetujuan dari beberapa pihak lainnya. Karena itu komunikasi yang dilakukan MI tidak hanya ditujukan untuk orang TI, melainkan juga bagi pengguna – termasuk direksi.

Hampir setiap kali meluncurkan sebuah produk atau solusi, lanjut Triari, MI membuat event yang dilakukan dalam tiga tahap. Event pertama biasanya dengan khalayak sasaran para profesional TI di perusahaan. Di event ini, MI akan menjelaskan detail tentang masalah teknis pada produk atau solusi. Setelah event itu, MI juga membuat event lain dengan khalayak sasaran profesional non-TI yang nantinya menggunakan produk atau solusi itu. Di sini yang dijelaskan adalah manfaat yang diperoleh dan juga berbagai keunggulan dari produk atau solusi. Terakhir, MI kembali akan membuat event dengan khlayak sasaran para business decision maker (BDM). Di event ini, penekanannya lebih pada bagaimana produk atau solusi dapat membantu bisnis perusahaan.

Cara yang kurang-lebih sama diterapkan pula dalam hal penempatan komunikasi pemasaran. Untuk para profesional TI, biasanya komunikasi pemasaran ditempatkan di media-media yang berbau teknologi, sedangkan untuk profesional non-TI komunikasi dilakukan di media yang sifatnya lebih umum, sementara untuk BDM komunikasi dilakukan di media bisnis. “Yang kami harapkan dari strategi ini adalah adanya keputusan kolektif dari konsumen untuk membeli,” kata Triari.

Triari menjelaskan pula, dalam hal komunikasi pemasaran, MI lebih banyak bermain di komunikasi lini bawah. Pasalnya, saat ini sebagian besar pelanggan MI adalah korporasi. “Kalau kami lebih banyak spend di ATL tidak relevan, karena ATL hanya berfungsi untuk konsumer,” ujarnya. Selain itu, komunikasi yang dilakukan juga tidak “hura-hura”. “Bujet kami sangat minim jika dibanding B2C. Tapi ini menjadi poin positif, karena return on investment-nya lebih besar.”

Kolaborasi antara manajer produk dan spesialis itu nantinya dilengkapi dengan aktivitas public relations yang akan menyampaikan positioning Microsoft lewat publikasi di media.

Tak berhenti sampai di situ, semua aktivitas tersebut nantinya akan dikaji lagi oleh CPEE. Di sini, selain mengukur apakah produk atau solusi yang ditawarkan itu berguna bagi pelanggan atau tidak, juga diukur apakah komunikasi yang dilakukan sudah sesuai dengan keinginan konsumen. “Sering kali kami mendapat insight baru di sini,” ujar Adrian.

Lukman Susetio, Manajer Windows Client Product MI, menambahkan, insight dari CPEE acap kali menjadi peluang MI untuk menghasilkan solusi baru. Solusi ini merupakan penggabungan beberapa produk yang dimiliki MI yang dipadukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang muncul dari hasil tracking yang dilakukan CPEE. “Jadi, terkadang kami sangat berorientasi produk, tapi sering kali juga berorientasi solusi, khususnya untuk pasar enterprise,” tuturnya.

Triari menambahkan, tidak cukup sampai di situ, MI masih memiliki satu tim lain, yaitu Data Management Organization. Tim ini tidak hanya bertugas mengumpulkan data, tapi juga menganalisis data. Dari data yang ada, ditambah dengan data intelijen. Tim ini mengolah dan mencatat perusahaan apa saja yang menggunakan peranti lunak Microsoft, serta produk apa saja yang mereka miliki. “Dari data ini kami bisa menawarkan pengembangan produk yang sudah mereka miliki,” katanya.

Adrian mengatakan, keunikan atau bahkan “kerumitan” organisasi pemasaran di MI ini merupakan motor penggerak roda bisnis MI di Indonesia. “Tujuan tim pemasaran adalah menciptakan prospek sebanyak mungkin yang nantinya akan ditutup oleh tim penjualan,” ia menuturkan.

Menurutnya, Microsoft sebagai entitas bisnis harus terus tumbuh. Bisnis ini sifatnya tidak bisa semata-mata dilakukan begitu saja karena pasar yang ada akan datang dengan sendirinya. Teknologi akan selalu berkembang. Tantangannya, bagaimana meyakinkan orang yang sudah puas dengan yang ada sekarang untuk memperoleh teknologi yang lebih memudahkan dan memuaskan kebutuhan konsumen. “Organisasi penjualan sebagus apa pun tanpa ada usaha edukasi tidak akan berhasil. Dan harus ada yang menciptakan kebutuhan. ”

Peran pemasaran, lanjut Adrian, harus bisa membuktikan secara jelas keuntungan perusahaan. Ada Key Performance Indicator (KPI) untuk pengukuran keterhubungan investasi pemasaran dengan perusahaan, di mana revenue, pangsa pasar dan kepuasan pelanggan membantu mencapai KPI. Tim ini memperkenalkan pemasaran yang terukur, ketika pengeluaran yang dihabiskan lebih besar daripada keuntungan, maka secara otomatis tim pemasaran ini gagal.

Menurut Agus W. Soehadi, Ketua Program S-1 Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya, salah satu kunci sukses MI adalah karena sebagian besar pengguna komputer sudah aware dan terbiasa menggunakan Microsoft, sehingga ada hambatan psikologis ataupun keterampilan untuk menggunakan software lain. “Ini keunggulan yang tidak dimiliki pemain lain.”

Dia mengatakan, strategi komunikasi MI yang dibeda-bedakan berdasarkan target audiens juga merupakan poin plus tersendiri. Menurutnya, hal ini memang sangat patut dilakukan, mengingat pengguna produk Microsoft tidak melulu berasal dari kalangan TI, sehingga kalangan non-TI pun perlu mendapat edukasi yang seimbang.

Tantangan terbesar bagi MI, lanjut Agus, adalah memperluas pasarnya yang ada di Indonesia. Microsoft punya potensi yang sangat besar untuk menjadi lebih besar lagi dari saat ini. Untuk itu, dia menyarankan agar MI lebih serius dalam melakukan edukasi, khususnya untuk first time user, yaitu para pelajar. “Banyak program yang bisa dikembangkan seperti masuk dalam program ekstra kurikuler di sekolah atau pengembangan guru-guru yang diharapkan akan menjadi ambassador Microsoft,” ucap Agus.

Adrian menambahkan, untuk mengembangkan pasar, tim BMO juga terus membantu semua mitra dan fokus pada target pasar. Untuk melakukan segmentasi dan targeting maka dibuat dua kemungkinan, yang mempunyai probabilitas lebih dari 60% akan membeli, dan yang kurang dari 40% atau kurang potensial membeli. Setelah itu dibagi lagi, pelanggan yang ketika membeli selalu beli produk baru atau pelanggan yang pikir-pikir dulu. Dari kerangka kerja seperti itu, tim pemasaran bisa betul-betul tahu dan bisa melakukan target bagi existing opportunity, early adopter customer, late adopter dan sisanya tetap akan diberi awareness tentang produk Microsoft.

Selain itu merangkul profesional TI lewat emotional engagement. “Kami ambil tokoh-tokoh TI yang dijadikan 'hero' untuk membuat suatu identitas kalau Microsoft itu gue banget,” paparnya. Nantinya, “hero” itu dengan sukarela akan menjadi duta MI dalam menciptakan komunikasi word of mouth. “Komunikasi yang dilakukan bukan oleh MI dampaknya akan jauh lebih kuat ketimbang yang dilakukan langsung oleh MI,” ucap Adrian.

MI masih memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang di Indonesia. “Dengan sistem organisasi yang ada saat ini, kami sangat optimistis untuk terus tumbuh di Indonesia,” ujar Adrian yakin.


0 komentar:

 

Blog Bisnis & News © 2008 using D'Bluez Theme Designed by Ipiet Supported by Tadpole's Notez Based on FREEmium theme Blogger Templates